Upaya Pengakuan Wilayah Adat Lintas Kabupaten, Pemprov Kalteng Perkuat Konsolidasi Pengajuan MHA

Foto: Para stakeholder terkait dan peserta FGD berfoto bersama. 

Palangka Raya, Hatantiringnews.com — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terus mendorong penguatan sinergi lintas kabupaten dalam proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA), terutama pada wilayah adat yang melintasi batas administratif. 


Hal ini tercermin dalam pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Palangka Raya, Rabu (30/7/2025), fasilitasi dialog antara Panitia MHA Kabupaten Katingan dan Kabupaten Gunung Mas.


FGD ini merupakan respons atas proses pengajuan pengakuan MHA oleh dua komunitas Dayak Ot Danum di Desa Tumbang Kawei dan Desa Tumbang Mangara, yang tengah mengusulkan pengakuan atas wilayah adat dan hutan adat mereka. Kedua desa tersebut memiliki wilayah adat yang saling bersinggungan dan bahkan melampaui batas administrasi dua kabupaten berbeda.


Staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Yuas Elko menegaskan bahwa proses pengajuan ini harus memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk kejelasan pranata adat dan batas wilayah adat. Menurutnya, hal ini hanya dapat dicapai melalui dialog terbuka dan kesepakatan lintas wilayah.


“Kerja sama dan komunikasi antara panitia dari dua kabupaten sangat penting agar proses pengajuan berjalan dengan tertib dan memiliki dasar hukum yang kuat,” jelasnya.


Ia menyebutkan bahwa hasil identifikasi menunjukkan wilayah adat Desa Tumbang Mangara mencakup beberapa daerah yang berada di wilayah administratif Kabupaten Gunung Mas seperti Tumbang Posu, Tumbang Maraya, Lawang Kanji, dan Tumbang Marikoi. Sementara itu, wilayah adat Desa Tumbang Kawei berada di kawasan yang berbatasan dengan Wilayah Adat Lewu Tehang.


Kompleksitas inilah yang mendorong pentingnya peran Panitia MHA Provinsi sebagai fasilitator utama dalam menjembatani kepentingan dua kabupaten. Keterlibatan aktor lokal seperti pemerintah kecamatan, Dewan Adat Dayak, dan para damang juga dianggap strategis dalam memastikan keberhasilan proses ini.


Yuas menyampaikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal seperti falsafah Huma Betang menjadi pijakan penting dalam membangun konsensus dan menyelesaikan potensi konflik batas wilayah adat.


“Falsafah Huma Betang mengajarkan kita pentingnya hidup berdampingan dan menyelesaikan persoalan melalui musyawarah,” ungkapnya.


Melalui FGD ini, diharapkan akan dihasilkan kesepahaman yang tidak hanya memperjelas batas wilayah adat, tetapi juga memperkuat dokumen formal yang akan diajukan dalam proses pengakuan MHA kepada pemerintah.


Yuas juga menambahkan bahwa konsolidasi seperti ini menjadi momen strategis untuk menyatukan visi antara komunitas adat dan pemerintah, sekaligus menunjukkan komitmen daerah dalam menjaga keberlanjutan warisan budaya dan ekologis masyarakat adat.


“Kita ingin semua proses ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bermakna bagi keberlangsungan budaya dan lingkungan,” ujarnya.


Kegiatan ini turut dihadiri perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng, unsur masyarakat adat dari Kabupaten Katingan dan Gunung Mas, WWF Indonesia, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya. (red) 






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama